Divonis 19 Tahun Penjara Eks Kapolres Ngada Terkait Kasus Pencabulan Anak
Kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang mantan pejabat kepolisian telah menarik perhatian publik dan menimbulkan keprihatinan mendalam. AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolres Ngada, baru saja dijatuhi hukuman 19 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Kupang. Vonis ini mencerminkan konsekuensi serius bagi tindakan keji yang merugikan anak-anak dan mencoreng citra institusi kepolisian.
Sidang putusan berlangsung pada 21 Oktober 2025 dan dihadiri oleh berbagai pihak. Majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim AA GD Agung Parnata memastikan keputusan tersebut dapat memberikan efek jera, khususnya dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Hukuman ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang sebelumnya menginginkan hukuman 20 tahun penjara. Namun, vonis ini tetap menunjukkan bahwa pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum, terutama mengingat seriusnya kasus yang dihadapi.
Detail Kasus Kekerasan Seksual yang Menggemparkan
AKBP Fajar dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak perempuan di bawah umur, berusia 6 hingga 16 tahun. Proses hukum ini mengungkap fakta-fakta mengejutkan yang membuat masyarakat mengutuk keras tindakan tersebut. Dalam persidangan, hakim menyimpulkan bahwa Fajar terbukti melakukan delik seksual yang sangat merugikan psikologis dan fisik terhadap anak-anak tersebut.
Ketua Majelis Hakim menyatakan, “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 19 tahun,” saat membaca amar putusan. Selain itu, Fajar juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp5 miliar yang tentu sangat mengagetkan banyak pihak.
Yang lebih mencengangkan, Fajar juga harus memberikan restitusi kepada para korban sebesar Rp359.162.000. Ini menunjukkan bahwa pandangan hukum tidak hanya menilai dari segi hukuman penjara, tetapi juga keinginan untuk mengembalikan hak-hak korban.
Kronologi Penangkapan dan Proses Hukum yang Berliku
Kejadian ini terungkap bukan tanpa proses yang panjang. Penangkapan Fajar terjadi pada 20 Februari 2025 oleh tim gabungan dari Propam Mabes Polri dan Polda NTT setelah seorang pengacara di Australia melapor tentang video kekerasan seksual yang diduga melibatkan Fajar. Video tersebut telah beredar di darkweb dan memicu penyelidikan yang lebih mendalam.
Selama penyelidikan, ditemukan bahwa salah satu dari korban adalah anak berusia 6 tahun yang mengalami kekerasan seksual di sebuah hotel di Kupang. Ini adalah salah satu dari banyak insiden yang dialami anak-anak di bawah pengawasan Fajar dalam rentang waktu tertentu.
Seluruh pelanggaran terjadi dalam rentang waktu tujuh bulan, dimana Fajar berupaya melakukan tindakan kekerasan seksual di berbagai lokasi. Kasus ini menimbulkan lonjakan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas kepolisian, sekaligus menyoroti pentingnya perlindungan bagi anak-anak.
Peran Pihak Ketiga dan Dampak Sosial
Keterlibatan pihak ketiga dalam kasus ini juga sangat mencolok. Seorang perempuan berinisial SHDR alias Stefani dituduh membawa anak-anak kepada Fajar. Dia disebut-sebut sebagai penghubung antara pelaku dan korban. Praktik ini menuntut penegakan hukum yang lebih luas untuk menyelidiki siapa saja yang terlibat dalam jaringan kejahatan ini.
Kasus ini menciptakan gelombang protes dari masyarakat yang berkehendak agar hukum ditegakkan secara transparan. Publik mulai mempertanyakan mengapa pelaku yang memiliki kedudukan tinggi dapat melakukan tindakan semacam itu tanpa takut akan konsekuensi hukum.
Kasus ini juga membawa perhatian serius pada isu perlindungan anak di Indonesia. Banyak keluarga mulai menyadari pentingnya melindungi anak-anak mereka dari potensi ancaman, baik dari lingkungan terdekat maupun dari mereka yang memiliki kekuasaan.
Reaksi Masyarakat dan Komisi Kode Etik Polri
Reaksi masyarakat terhadap vonis ini beragam. Sebagian besar menunjukkan dukungan agar hukuman yang dijatuhkan bisa lebih berat. Mereka percaya bahwa tindakan kekerasan seksual pada anak harus menjadi perhatian serius masyarakat dan penegak hukum.
Di sisi lain, Komisi Kode Etik Polri telah memberikan tindakan tegas dengan memecat Fajar dari institusi kepolisian. Putusan ini mendapatkan tanggapan luas, menunjukkan bahwa institusi mencoba untuk membersihkan citranya dari anggota yang melakukan pelanggaran serius.
Meski Fajar mengajukan banding atas keputusan pemecatan tersebut, bandingnya ditolak, yang menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum mencoba memperlihatkan bahwa mereka tidak akan mentolerir pelanggaran moral yang mencoreng nama polisi.